Layang Melayang

Awalnya semua ini hanya tentang nasi padang dengan lauk rendang. Di tengah kisah, ku merenungi banyak hal. Pada akhirnya aku jadi banyak pikiran. Selamat berjuang bagi kita semua.


***
Langkah ku terhenti ketika melihat dua bocah yang sedang menggulung benang dari layangan yang sangat besar. Ini koang-koang namanya kak, jelas mereka saat kutanya kenapa layangan bisa sebesar itu. Beberapa minggu terakhir ini memang banyak sekali yang bermain layangan. Ku hanya bisa memandangi semua layangan di langit saat mengambil jemuran. Kadang terbesit ingin yang besar seperti itu.

"Harganya bisa ratusan ribu, Kak. Ini nanti kami jual lagi. Uang nya bisa untuk orang tua" Lagi-lagi mereka memberi penjelasan.

"Kakak ada uang?" Tanya mereka saat kutanyakan dimana membeli layangan. Aku hanya butuh yang kecil, tapi mau berusaha bagaimana pun tetap tidak menemukan penjual layangan. Ku bingung kenapa pola kalimat tanya dia seperti itu. Aku memang hanya pakai gamis sederhana hari itu. Misi utama ku hanya membeli sebungkus nasi padang yang jaraknya sekitar 300 meter dari kost-an. Apakah aku terlihat seperti tidak punya harta untuk membeli layangan?

Harga layangan adalah 5000. Tersedia beberapa benang. Kalau gelasan mahal. Dia menjelaskan lagi soal layangan. Segera kutegaskan kalau aku punya uang untuk membeli beberapa layangan. Mereka menyuruhku menunggu karena benang yang digulung teramat panjang. Dua bocah itu bergantian menggulung dan aku masih terus menahan lapar. Tidak sabar ku santap nasi padang dan teh pucuk harum dingin yang sudah ku beli.

Nasi Padang
Nasi padangnya keburu dingin

Aku mulai mengikuti langkah mereka menyusuri gang kecil padat penduduk. Gang yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah kost megah yang aku tumpangi. Oh... betapa banyak pasang mata yang memerhatikanku. Aku benci menjadi pusat perhatian. Bukannya kepedean ya, tapi ini memang benar-benar diperhatikan oleh orang sekampung.

"Dimana lokasinya? Katanya dekat?!!"
Aku menggerutu karena mulai tidak nyaman dengan keadaan sekitar. Deket kak... sebentar lagi. Tiba-tiba saja kami sampai di mulut gang lainnya yang jaraknya sekitar lima rumah dari tempat kost ku. Bajigur... bocah-bocah ini ngajak aku keliling kampung cuma buat sampai ke tempat kost ku. Tau gitu kan lewat jalan komplek perumahan saja, kenapa harus repot-repot mengitari perkampungan padat itu.

Proses membeli layangan tidak semudah itu. Ternyata yang berjualan adalah tetangga ku sendiri. Dia seorang anak yang membeli banyak layangan dari pusat dan menjual nya lagi di komplek itu. Oke, aku baru tau kalau kegiatan ekonomi disini sangat luas. Setelah mengantar ku membeli layangan, dengan sopan mereka bertanya apakah aku perlu diantar pulang atau tidak. Oh... gentle banget sih anak-anak SD ini. Aku berterima kasih dan pulang sendiri, karena memang lokasi nya dekat.

Benar-benar gak disangka, keinginan menyantap rendang hari itu harus delay sampai 30 menit lebih. Perjalanan singkat itu membuat ku memikirkan banyak hal, kalau dibuat daftar kira-kira seperti ini:

  1. Hidup seperti apa yang mereka jalani sampai merelakan layangan yang menyenangkan itu untuk dijual? padahal kan senang kalau dimainkan sendiri. Tapi mereka lebih butuh uang sepertinya dibanding bermain.
  2. Apa yang mempengaruhi mereka untuk memastikan keadaan dompet ku dulu sebelum memulai pembicaraan ke arah lain?
  3. Adakah alasan khusus bagi mereka untuk memilih jalan melalui wilayah padat penduduk tersebut? Padahal akses perumahan dengan jalan lebar jelas lebih dekat.
Sebenarnya masih banyak yang ingin kutanya, tapi nanti rendang nya terlalu lama menunggu. Oh ya, anak itu mendapat ancaman akan dipukul oleh ortu nya kalau tidak segera pulang. Salah satu teman nya memberi peringatan. Aku jadi benar-benar tidak enak karena tau kondisi dia. Orang tua nya harus tau kalau anaknya ikut memikirkan mereka. Ku harap orang tua nya bisa bijak dalam hal ini. Tapi aku jelas tidak punya hak untuk ikut campur.

Layangan koang
Layangan koang yang tewang di tempat jemuran kost

Satu minggu kemudian, layangan koang terjatuh di tempat jemuran. Masih kusimpan hingga hari ini. Ku harap bisa bertemu dengan anak itu lagi. Tapi tak satu pun petunjuk yang kumiliki. Ku tak tau namanya. Tetangga penjual layangan pun ku tak tau namanya. Seiring jalannya waktu, aku pun mulai lupa visualnya seperti apa. Dik, ayo ketemu lagi.

Komentar

Paling Populer